Friday 18 September 2015

#ShortStory Is it a joke?



Hold on, don’t look back

You know we’re better we’re better than that

Lost and thrown away

You know we’re better we’re better than that

We are the strays

We are the strays

Aku melantunkan lagu The Strays milik Sleeping With Sirens sambil memainkan jari jemariku di gitar kesayanganku. Beginilah aku ketika sedang merasa bosan, aku akan memainkan gitar kesayanganku. Kebetulan kali ini aku sedang sendiri di rumah. Jadi aku bisa bernyanyi sekeras-kerasnya tanpa ada yang memprotes. Orang tuaku sedang pergi keluar, sedangkan kakakku sudah tidak tinggal disini lagi. ia melanjutkan studinya di luar kota.

Rintik suara hujan mengiringiku bernyanyi. Aku bertengger di dekat jendela agar aku bisa melihat keadaan di luar. Basah karena hujan.

Sejujurnya aku tidak hanya merasa bosan, aku juga merasa kesal. Aku merasa tidak dipedulikan oleh sahabatku sendiri, Calum. Dia lebih percaya pacarnya –Jean– dari pada aku. Padahal aku melihat Jean pergi bersama orang lain dengan mata kepalaku sendiri. Tapi Calum malah tidak percaya. Dan bodohnya aku malah memaki Calum hingga akhirnya dia bilang kalau persahabatanku dengannya sudah putus.

Sungguh itu membuatku sakit hati.

Aku dan Calum sudah bersahabat sejak kelas 8. Ya aku tahu itu baru beberapa tahun tapi menurutku itu adalah waktu yang lama. Aku mulai menyukai Calum ketika kami masuk SMA. Kami sangat dekat.

Aku bahkan belum percaya kalau sekarang kami sudah tidak bersahabat lagi. sudah hampir seminggu aku tidak menyapa Calum ketika kami berpapasan di koridor. Aku masih merasa kesal.  Namun entah kenapa aku selalu merasa kalau Calum ingin menyapaku. Entahlah, aku pikir itu terlalu berharap. Aku tahu Calum lebih peduli dengan Jean.

Tapi aku terkejut ketika tiba-tiba teleponku berbunyi. Aku melihat Caller ID, tertulis nama Calum disana. Omong-omong dia memang sudah meneleponku berkali-kali kemarin, namun aku mengabaikannya. Begitu juga kali ini, aku juga mengabaikannya.

Dia lebih peduli Jean.

Berkali kali aku mengabaikan teleponnya, tapi Calum tetap tidak bisa berhenti meneleponku. Aku merasa bingung sekarang. rasa kesal itu masih menyelimuti tubuhku namun disaat yang sama aku juga merasa kasihan dengannya.

Mungkin Jamie bisa memberi solusi.

“Jam, dia meneleponku lagi. bagimana ini?” tanyaku kebingungan.

Biarkan saja, Fit.” Jawabnya dengan nada suara santai. Ia terdengar sedang mengunyah sesuatu.

“Tapi bagaimana kalau dia ingin berbicara hal yang penting kepadaku? Atau dia ingin memperbaiki masalahnya denganku?”

Jamie terdiam beberapa saat, “Aku jadi bingung, Fit. Entahlah,kalau kau merasa kasihan, angkat saja. terserah padamu.

“Bagaimana ya?”

Jika itu memang penting, angkat saja Fit. Kalau memang kau tidak mau diganggu, biarkan saja dan pastikan handphonemu dalam mati atau modus pesawat.” Saran Jamie.

Itu tetap membuatku bingung.

“Baiklah. Jamie. Sepertinya aku akan berusaha berbicara kepadanya.” Balasku.

Semoga masalahmu cepat selesai ya. Dan sampai bertemu besok!

“Sampai bertemu besok.” Ucapku. Kemudian terdengar suara peep panjang dari handphoneku.
Aku menghela nafas panjang. Memejamkan mataku untuk beberapa saat agar aku bisa menenangkan diri. Namun suara bel malah merusak ketenanganku.

Siapa sih yang datang di saat hujan begini.

Dengan terpaksa aku turun kebawah untuk membuka pintu. Begitu aku membuka pintu, mataku langsung membulat. Tubuhku terasa membeku ketika melihat Calum berada di depanku.

Apa yang ia lakukan di rumahku sekarang?

“Hi,” dia tersenyum canggung sambil melambaikan tanggannya.

Yaampun. Aku baru sadar kalau Calum kebasahan karena hujan.

“Hi juga,” jawabku tak kalah canggung. “Ada urusan apa kau kesini?”

Aku sangat berharap dia akan menjawab kalau ia mau menyelesaikan masalah kemarin.

“Tadi aku sedang pergi ke toko di dekat sini. Namun ketika aku sedang berjalan pulang, secara tiba-tiba saja hujan. Aku tidak bawa payung sekarang. jadi aku kesini untuk berteduh di rumahmu. Apakah kau mengizinkanku untuk masuk?” Tanya Calum.

Sial! Dia datang kesini hanya untuk berteduh.

Aku masih kesal dengannya. Namun melihatnya basah kuyup seperti ini membuatku kasihan dengannya. Aku menggigit pipi bagian dalam. “Baiklah, kau boleh masuk.”

Dia pun masuk ke dalam rumahku. Aku mempersilahkannya menunggu di ruang tamu. Sementara aku sendiri pergi ke kamar kakakku untuk mengambil baju dari sana. Untung saja kakakku masih menyimpan beberapa baju disini sehingga aku bisa meminjamkan salah satunya untuk Calum agar ia tidak kedinginan.

Ketika Calum memakainya, baju itu sangat pas sekali. Ukurannya sangat tepat. Dia juga terlihat nyaman mengenakannya.

“Terimakasih telah meminjamkan baju ini.” ucap Calum. Dia tersenyum kepadaku.

Aku membalas senyumannya dengan agak sedikit dingin. “Your welcome.”

Keadaan pun kembali canggung. Kami sama sekali tidak berbicara.

Ini sangat-sangat canggung.

“Fitri.” Panggilnya.

“Hm…” aku hanya berdeham. Mataku fokus kepada buku yang aku baca saat ini. Sebenarnya aku ingin sekali berbicara kepadanya, namun aku masih merasa kesal.

“Soal yang kemarin,” gumam Calum. Kini ia menggaruk tengkuknya. Aku tau pasti dia sangat gugup sekali. “Aku minta maaf telah memakimu.”

Aku menganggu kecil. Berusaha terlihat dingin di hadapannya padahal aku sangat senang sekali. “Iya. Aku memaafkanmu.”

Dari ekor mataku, kau bisa melihat Calum tersenyum. “Terima kasih.”

“Hm..” lagi-lagi aku hanya membalasnya dengan dehaman.

Calum tampaknya tidak puas dengan responku yang masih seperti orang marah.

“Fitri? Kau masih marah ya?”

Aku tidak meresponnya.

“Fit. Aku bisa jelaskan.” Katanya. Aku masih dalam aktifitasku, membaca buku. Berpura-pura tidak mendengarkannya. “Aku sangat meminta maaf padamu, Fit. Aku tahu, niatmu baik karena ingin memperingatkanku tentang Jean. Bodohnya aku malah mengabaikan peringatanmu. Kau benar, Fit. Jean selingkuh dariku.”

Aku memandangnya. Ada pancaran kesedihan dari matanya ketika ia menatapku. Aku tahu, dia pasti sangat merasa bersalah.

Oke. Oke. Aku memaafkannya.

“Maafkan aku telah mengabaikanmu. Sekarang aku benar-benar menyesal, Fit. Dan aku juga sadar kalau aku tidak bisa jauh darimu.” Ucapnya.

Jujur, aku terkejut ketika dia berkata seperti itu.

“Iya. Aku maafkan, Cal. Maafkan aku juga sudah berteriak di depanmu waktu itu.” balasku yang akhirnya luluh.

“Tidak apa-apa. Aku juga menyesal telah berkata seperti itu kepadamu, Fit.” Katanya. Terdengar sangat tulus di telingaku.

Aku mengangguk. “Sudah lupakan saja itu.”

“Jadi, kita berteman?” Calum mengangkat jari kelingkingnya.

Aku mengaitkan jari kelingkingku di jarinya. “Sahabat.” Aku tersenyum kepadanya.

Dia pun memelukku. Lega rasanya. Akhirnya aku bisa menyelesaikan masalahku dengan Calum.

“Omong-omong, kau kan habis dari toko. Lalu mengapa kau tidak membawa bareng belanjaanmu?” tanyaku sambil memandangnya.

Dia nyengir. Inilah salah satu yang aku rindukan dari Calum. “Hehe. sebenarnya aku sengaja pergi ke sini untuk meminta maaf kepadamu. Soal itu, aku bohong.”

“Ish. Kau ini.” aku menyubit tangannya.

“Aw sakit,”

***

Tanpa terasa, hujan telah berhenti. Tadinya Calum akan pulang ketika hujan sudah berhenti, namun sekarang ia masih berada di rumahku karena dia tidak ingin membiarkanku sendirian di rumah.

Ketika aku sedang menonton TV bersamanya, tiba-tiba saja aku mendengar suara mobil dari luar rumahku. Mataku seketika membulat. Aku baru ingat kalau orang tuaku melarangku memasukan orang lain ke rumah. Dan sekarang ada Calum di rumahku. Jadi bagaimana ini? mereka akan segera masuk.

“Cal, maaf tapi sepertinya kau harus pulang. Orang tua ku sudah pulang dan mereka akan masuk ke sini sebentar lagi.” aku mulai panik.

“Kenapa kau terlihat takut begitu? Bilang saja kalau aku numpang berteduh.” Calum menjawabnya dengan santai.

Aku mendesis kecil. “Kalau orang tuaku melihat kau berada di dalam rumahku, bisa-bisa orang tuaku malah menikahkanmu denganku. Seharusnya kau tahu kalau aku dilarang memasukan pria ke dalam rumah.”

Calum tersenyum jahil. “Aku tidak akan pulang.”

“Plis Cal. Kau harus pulang.” Kini aku menarik tangannya agar dia bangun dari sofa. “Keluar lewat belakang.”

“Tidak mau.” Calum menggeleng keras.

“Kenapa? Nanti kita bisa dinikahkan, Cal. Aku belum siap nikah di umur segini.”

“Karena aku memang menginginkan itu.”

“What?” aku mengkerutkan dahi. Tidak mengerti apa yang dikatakan Calum.

“Biarkan saja orang tuamu menikahkan kita.” Jawabnya.

Dalam sedetik, pipiku memerah seperti tomat. Aku blushing. Apakah ini mimpi? Calum ingin menikah denganku? Pasti dia bercanda.

“Ish Calum!”

***

Eaaa. Wkwk.
Iseng bikin oneshot dan kali ini gue dedikasiin untuk anak 5pip tercinta, Fitri. Wkwk. ide cerita gue ambil dari ceritanya Jordan yang waktu kelas 9 wkwk. Cuma bedanya di endingnya Calum keluar lewat balkon dan ketauan sama emak bapaknya Fitri :v sumpah gue masih inget cerita itu. wkwk. oh ya maaf ya kalo jelek :v gue gak jago bikin romance, apalagi short story wkwk :v hope you like it guys!
Minta kritik dan sarannya ya :D

Muph ini jelek banget gaissss :v

por pitli: maapkan dirikuh yang telah menulis cerita tidak jelas inih :'v

Saturday 28 February 2015

Password Reminder - Cerpen From Fabutive: Attack On The City

BY: DEASPENC aka NARU ISABEL :v
NO COPAS EAPS. Gak boleh copy-paste, bolehnya cuma share. Kalo mau share harus izin dulu dan pake credit ;) :v
Kalo ada yang copas, nanti gue ketekin :v gue serius :v