Hold on, don’t look
back
You know we’re better
we’re better than that
Lost and thrown away
You know we’re better
we’re better than that
We are the strays
We are the strays
Aku melantunkan lagu The Strays milik Sleeping With Sirens
sambil memainkan jari jemariku di gitar kesayanganku. Beginilah aku ketika
sedang merasa bosan, aku akan memainkan gitar kesayanganku. Kebetulan kali ini
aku sedang sendiri di rumah. Jadi aku bisa bernyanyi sekeras-kerasnya tanpa ada
yang memprotes. Orang tuaku sedang pergi keluar, sedangkan kakakku sudah tidak
tinggal disini lagi. ia melanjutkan studinya di luar kota.
Rintik suara hujan mengiringiku bernyanyi. Aku bertengger di
dekat jendela agar aku bisa melihat keadaan di luar. Basah karena hujan.
Sejujurnya aku tidak hanya merasa bosan, aku juga merasa
kesal. Aku merasa tidak dipedulikan oleh sahabatku sendiri, Calum. Dia lebih
percaya pacarnya –Jean– dari pada aku. Padahal aku melihat Jean pergi bersama
orang lain dengan mata kepalaku sendiri. Tapi Calum malah tidak percaya. Dan
bodohnya aku malah memaki Calum hingga akhirnya dia bilang kalau persahabatanku
dengannya sudah putus.
Sungguh itu membuatku sakit hati.
Aku dan Calum sudah bersahabat sejak kelas 8. Ya aku tahu
itu baru beberapa tahun tapi menurutku itu adalah waktu yang lama. Aku mulai
menyukai Calum ketika kami masuk SMA. Kami sangat dekat.
Aku bahkan belum percaya kalau sekarang kami sudah tidak
bersahabat lagi. sudah hampir seminggu aku tidak menyapa Calum ketika kami
berpapasan di koridor. Aku masih merasa kesal.
Namun entah kenapa aku selalu merasa kalau Calum ingin menyapaku.
Entahlah, aku pikir itu terlalu berharap. Aku tahu Calum lebih peduli dengan
Jean.
Tapi aku terkejut ketika tiba-tiba teleponku berbunyi. Aku
melihat Caller ID, tertulis nama Calum
disana. Omong-omong dia memang sudah meneleponku berkali-kali kemarin, namun
aku mengabaikannya. Begitu juga kali ini, aku juga mengabaikannya.
Dia lebih peduli Jean.
Berkali kali aku mengabaikan teleponnya, tapi Calum tetap
tidak bisa berhenti meneleponku. Aku merasa bingung sekarang. rasa kesal itu
masih menyelimuti tubuhku namun disaat yang sama aku juga merasa kasihan
dengannya.
Mungkin Jamie bisa memberi solusi.
“Jam, dia meneleponku lagi. bagimana ini?” tanyaku
kebingungan.
“Biarkan saja, Fit.”
Jawabnya dengan nada suara santai. Ia terdengar sedang mengunyah sesuatu.
“Tapi bagaimana kalau dia ingin berbicara hal yang penting
kepadaku? Atau dia ingin memperbaiki masalahnya denganku?”
Jamie terdiam beberapa saat, “Aku jadi bingung, Fit. Entahlah,kalau kau merasa kasihan, angkat saja.
terserah padamu.”
“Bagaimana ya?”
“Jika itu memang
penting, angkat saja Fit. Kalau memang kau tidak mau diganggu, biarkan saja dan
pastikan handphonemu dalam mati atau modus pesawat.” Saran Jamie.
Itu tetap membuatku bingung.
“Baiklah. Jamie. Sepertinya aku akan berusaha berbicara
kepadanya.” Balasku.
“Semoga masalahmu
cepat selesai ya. Dan sampai bertemu besok!”
“Sampai bertemu besok.” Ucapku. Kemudian terdengar suara
peep panjang dari handphoneku.
Aku menghela nafas panjang. Memejamkan mataku untuk beberapa
saat agar aku bisa menenangkan diri. Namun suara bel malah merusak
ketenanganku.
Siapa sih yang datang
di saat hujan begini.
Dengan terpaksa aku turun kebawah untuk membuka pintu.
Begitu aku membuka pintu, mataku langsung membulat. Tubuhku terasa membeku
ketika melihat Calum berada di depanku.
Apa yang ia lakukan di rumahku sekarang?
“Hi,” dia tersenyum canggung sambil melambaikan tanggannya.
Yaampun. Aku baru sadar kalau Calum kebasahan karena hujan.
“Hi juga,” jawabku tak kalah canggung. “Ada urusan apa kau
kesini?”
Aku sangat berharap dia akan menjawab kalau ia mau
menyelesaikan masalah kemarin.
“Tadi aku sedang pergi ke toko di dekat sini. Namun ketika
aku sedang berjalan pulang, secara tiba-tiba saja hujan. Aku tidak bawa payung
sekarang. jadi aku kesini untuk berteduh di rumahmu. Apakah kau mengizinkanku
untuk masuk?” Tanya Calum.
Sial! Dia datang kesini hanya untuk berteduh.
Aku masih kesal dengannya. Namun melihatnya basah kuyup
seperti ini membuatku kasihan dengannya. Aku menggigit pipi bagian dalam.
“Baiklah, kau boleh masuk.”
Dia pun masuk ke dalam rumahku. Aku mempersilahkannya
menunggu di ruang tamu. Sementara aku sendiri pergi ke kamar kakakku untuk
mengambil baju dari sana. Untung saja kakakku masih menyimpan beberapa baju
disini sehingga aku bisa meminjamkan salah satunya untuk Calum agar ia tidak
kedinginan.
Ketika Calum memakainya, baju itu sangat pas sekali.
Ukurannya sangat tepat. Dia juga terlihat nyaman mengenakannya.
“Terimakasih telah meminjamkan baju ini.” ucap Calum. Dia
tersenyum kepadaku.
Aku membalas senyumannya dengan agak sedikit dingin. “Your welcome.”
Keadaan pun kembali canggung. Kami sama sekali tidak
berbicara.
Ini sangat-sangat canggung.
“Fitri.” Panggilnya.
“Hm…” aku hanya berdeham. Mataku fokus kepada buku yang aku
baca saat ini. Sebenarnya aku ingin sekali berbicara kepadanya, namun aku masih
merasa kesal.
“Soal yang kemarin,” gumam Calum. Kini ia menggaruk
tengkuknya. Aku tau pasti dia sangat gugup sekali. “Aku minta maaf telah
memakimu.”
Aku menganggu kecil. Berusaha terlihat dingin di hadapannya padahal aku sangat senang sekali. “Iya. Aku
memaafkanmu.”
Dari ekor mataku, kau bisa melihat Calum tersenyum. “Terima
kasih.”
“Hm..” lagi-lagi aku hanya membalasnya dengan dehaman.
Calum tampaknya tidak puas dengan responku yang masih
seperti orang marah.
“Fitri? Kau masih marah ya?”
Aku tidak meresponnya.
“Fit. Aku bisa jelaskan.” Katanya. Aku masih dalam
aktifitasku, membaca buku. Berpura-pura tidak mendengarkannya. “Aku sangat
meminta maaf padamu, Fit. Aku tahu, niatmu baik karena ingin memperingatkanku
tentang Jean. Bodohnya aku malah mengabaikan peringatanmu. Kau benar, Fit. Jean
selingkuh dariku.”
Aku memandangnya. Ada pancaran kesedihan dari matanya ketika
ia menatapku. Aku tahu, dia pasti sangat merasa bersalah.
Oke. Oke. Aku memaafkannya.
“Maafkan aku telah mengabaikanmu. Sekarang aku benar-benar
menyesal, Fit. Dan aku juga sadar kalau aku tidak bisa jauh darimu.” Ucapnya.
Jujur, aku terkejut ketika dia berkata seperti itu.
“Iya. Aku maafkan, Cal. Maafkan aku juga sudah berteriak di
depanmu waktu itu.” balasku yang akhirnya luluh.
“Tidak apa-apa. Aku juga menyesal telah berkata seperti itu
kepadamu, Fit.” Katanya. Terdengar sangat tulus di telingaku.
Aku mengangguk. “Sudah lupakan saja itu.”
“Jadi, kita berteman?” Calum mengangkat jari kelingkingnya.
Aku mengaitkan jari kelingkingku di jarinya. “Sahabat.” Aku
tersenyum kepadanya.
Dia pun memelukku. Lega rasanya. Akhirnya aku bisa
menyelesaikan masalahku dengan Calum.
“Omong-omong, kau kan habis dari toko. Lalu mengapa kau
tidak membawa bareng belanjaanmu?” tanyaku sambil memandangnya.
Dia nyengir. Inilah salah satu yang aku rindukan dari Calum.
“Hehe. sebenarnya aku sengaja pergi ke sini untuk meminta maaf kepadamu. Soal
itu, aku bohong.”
“Ish. Kau ini.” aku menyubit tangannya.
“Aw sakit,”
***
Tanpa terasa, hujan telah berhenti. Tadinya Calum akan
pulang ketika hujan sudah berhenti, namun sekarang ia masih berada di rumahku
karena dia tidak ingin membiarkanku sendirian di rumah.
Ketika aku sedang menonton TV bersamanya, tiba-tiba saja aku
mendengar suara mobil dari luar rumahku. Mataku seketika membulat. Aku baru
ingat kalau orang tuaku melarangku memasukan orang lain ke rumah. Dan sekarang
ada Calum di rumahku. Jadi bagaimana ini? mereka akan segera masuk.
“Cal, maaf tapi sepertinya kau harus pulang. Orang tua ku
sudah pulang dan mereka akan masuk ke sini sebentar lagi.” aku mulai panik.
“Kenapa kau terlihat takut begitu? Bilang saja kalau aku
numpang berteduh.” Calum menjawabnya dengan santai.
Aku mendesis kecil. “Kalau orang tuaku melihat kau berada di
dalam rumahku, bisa-bisa orang tuaku malah menikahkanmu denganku. Seharusnya
kau tahu kalau aku dilarang memasukan pria ke dalam rumah.”
Calum tersenyum jahil. “Aku tidak akan pulang.”
“Plis Cal. Kau harus pulang.” Kini aku menarik tangannya
agar dia bangun dari sofa. “Keluar lewat belakang.”
“Tidak mau.” Calum menggeleng keras.
“Kenapa? Nanti kita bisa dinikahkan, Cal. Aku belum siap
nikah di umur segini.”
“Karena aku memang menginginkan itu.”
“What?” aku mengkerutkan dahi. Tidak mengerti apa yang
dikatakan Calum.
“Biarkan saja orang tuamu menikahkan kita.” Jawabnya.
Dalam sedetik, pipiku memerah seperti tomat. Aku blushing. Apakah ini mimpi? Calum ingin
menikah denganku? Pasti dia bercanda.
“Ish Calum!”
***
Eaaa. Wkwk.
Iseng bikin oneshot
dan kali ini gue dedikasiin untuk anak 5pip tercinta, Fitri. Wkwk. ide cerita
gue ambil dari ceritanya Jordan yang waktu kelas 9 wkwk. Cuma bedanya di
endingnya Calum keluar lewat balkon dan ketauan sama emak bapaknya Fitri :v
sumpah gue masih inget cerita itu. wkwk. oh ya maaf ya kalo jelek :v gue gak
jago bikin romance, apalagi short story wkwk :v hope you like it guys!
Minta kritik dan
sarannya ya :D
Muph ini jelek banget
gaissss :v
por pitli: maapkan dirikuh yang telah menulis cerita tidak jelas inih :'v